Dedi Iskandar: Kewenangan DPD Harus Diperkuat Lewat Amandemen UUD 1945

Anggota DPD RI sekaligus Badan Pengkajian MPR RI, Dedi Iskandar Batubara (Kiri), bersama Abdul Hakim MS, pendiri Skala Survei Indonesia (SSI), dalam Diskusi Konstitusi dan Demokrasi Indonesia, Rabu (1/10/2025).
Rabu, 1 Oktober 2025, 20:05 WIB
Political News

LampuHijau.co.id - Anggota DPD RI sekaligus Badan Pengkajian MPR RI, Dedi Iskandar Batubara, menegaskan urgensi penguatan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai bagian dari sistem ketatanegaraan Indonesia.

Dorongan itu disampaikan dalam Diskusi Konstitusi dan Demokrasi Indonesia yang digelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP), bertepatan dengan peringatan HUT ke-21 DPD RI.

Menurut Dedi, meski DPD lahir dari amandemen UUD 1945, kewenangannya dalam legislasi masih sangat terbatas. Saat ini, DPD hanya bisa mengusulkan rancangan undang-undang tertentu yang berkaitan dengan kepentingan daerah.

“Kewenangan DPD belum mencerminkan peran optimal sebagai lembaga legislatif. Puncaknya hanya bisa lewat amandemen kelima UUD 1945, meski jalan politiknya cukup panjang,” tegas Dedi.

Baca juga : Di Tengah Warga Kejepit, Tunjangan DPRD Kota Tangerang Tahun Ini Melejit

Ia menilai penguatan peran DPD justru akan menyeimbangkan sistem presidensial yang kini dianggap terlalu kuat di tangan eksekutif. Dengan kewenangan legislasi terkait kepentingan daerah, menurutnya, DPD akan lebih tepat sasaran karena anggotanya memahami langsung persoalan lokal.

Selain mendorong amandemen, Dedi menawarkan langkah realistis: 1. Memperkuat fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan program pemerintah di daerah, terutama penggunaan dana transfer. 2. Mengoptimalkan kolaborasi dengan lembaga negara lain agar program APBN benar-benar menyentuh rakyat di daerah.

“DPD harus memastikan program pemerintah berjalan nyata di daerah. Itu fungsi pengawasan yang bisa langsung dirasakan masyarakat,” tambahnya.

Meski kerap kalah pamor dibanding DPR, Dedi menekankan DPD tetap harus memainkan peran maksimal, sebab isu-isu daerah yang diperjuangkan lembaga ini bersifat fundamental bagi demokrasi.

Baca juga : Di Tangsel Obat Keras Dijual Bebas Lewat Internet

Sistem Politik Indonesia: Jalan Ketiga

Dalam forum yang sama, Abdul Hakim MS, pendiri Skala Survei Indonesia (SSI), mengurai dinamika sistem politik Indonesia sejak kemerdekaan. Menurutnya, praktik ketatanegaraan Indonesia selalu berada di persimpangan antara sistem presidensial dan parlementer, hingga lahir pola khas: “jalan ketiga demokrasi Indonesia.”

“Sejak awal Indonesia mencari jalan tengah antara presidensial yang kuat atau parlementer yang cair,” jelas Abdul Hakim.

Ia memaparkan bagaimana sejak 1945 hingga kini, Indonesia kerap mengalami tarik ulur sistem. Dari kabinet parlementer yang jatuh silih berganti, Dekrit 5 Juli 1959, hingga amandemen pasca-Reformasi yang menegaskan presidensialisme.

Baca juga : Pelanggan Kehilangan Barang di Kereta Api Aman dengan Layanan Lost and Found

Namun, realitas politik menunjukkan oposisi di Indonesia bersifat cair: partai bisa keluar-masuk koalisi dengan mudah. Fenomena ini menciptakan oposisi “abu-abu” yang berbeda dengan praktik presidensial murni.

“Demokrasi jalan ketiga Indonesia adalah model khas. Jika dijaga seimbang, ia bisa jadi kontribusi kita bagi percakapan global,” pungkas Abdul Hakim. (Asp)

Index Berita
Tgl :
Silahkan pilih tanggal untuk melihat daftar berita per-tanggal